Catatan tentang kelompok belajar fotografi Serina

Menjelang akhir 2020, saya memprakarsai sebuah kelompok belajar fotografi, yang secara khusus ingin membicarakan hal-hal nonteknis. Keinginan ini muncul dari kurangnya percakapan soal hal-hal nonteknis itu—setidaknya, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya selama ini—apabila dibandingkan dengan hal-hal yang berbau teknis. Yang saya maksud dengan hal-hal nonteknis tersebut mencakup sejarah, teori, dan wacana, yang lantas saya singkat menjadi Serina dan saya jadikan nama kelompok belajar fotografi ini.

Awalnya, saya ingin memulai kelompok belajar Serina ini dengan mengajak teman-teman di Yogyakarta yang berminat ikut untuk berkumpul di rumah dan bersama-sama membaca beberapa buku fotografi yang saya miliki. Keinginan ini disertai harapan, bahwa keadaan pandemi Covid-19 akan membaik, sehingga pertemuan fisik dapat dilangsungkan. Akan tetapi, keadaan pandemi Covid-19 justru memburuk waktu itu, sehingga akhirnya saya membatalkan niatan itu dan mengubah cara pertemuan menjadi daring. Pergeseran pertemuan ke dunia maya ini membuka kemungkinan keikutsertaan teman-teman dari luar Yogyakarta.

Saya pun mengumumkan prakarsa kelompok belajar Serina itu dan membuka pendaftaran terbatas melalui Instagram.

Dari pengalaman saya menjadi peserta atau pemateri lokakarya fotografi, saya kira masih ada lubang yang sukar ditambal dengan kegiatan semacam itu. Durasi pendek dan tuntutan hasil membuat lokakarya lebih banyak memberi kiat praktis kepada peserta, kurang waktu untuk mengupas konteks dan wacana. Saya sendiri jadi banyak bertanya dan berupaya membaca guna melengkapi kepingan teka-teki, agar mendapat gambaran besar fotografi yang lebih jelas. Dengan landasan pemikiran ini, saya bermaksud memulai suatu kelompok belajar bersama.

Kelompok belajar ini akan mengajak kita membaca sejarah, teori, dan wacana (saya singat serina) terkait fotografi secara berkala dan berlanjut, kemudian bersama-sama membicarakan bacaan itu. Bacaan dicuplik per bagian dari kitab orang terpelajar, yang ulasannya cukup lengkap sekaligus mudah dipahami, disertai teks lain sebagai bacaan sampingan, termasuk pustaka yang dirujuk di dalam bacaan. Percakapan dibuka dengan topik yang umum, lantas beranjak ke bab-bab yang lebih khusus dan lebih mendalam.

Tujuan studi serina bukan menghafal sejarah atau teori, melainkan menengok dan coba menarik pengertian kritis dari apa yang telah dan tengah berlangsung di dalam medan fotografi. Kelompok belajar ini mengandalkan percakapan dan tukar pikiran, sebab itu perlu partisipasi aktif para pesertanya supaya berjalan. Selain minat dan ketekunan, ada baiknya partisipan juga punya pengalaman dan pemahaman yang cukup soal teknik dan praktik fotografi, sehingga dapat meresapi dan merefleksikan materi bacaan.

Saya masih menimbang beberapa kemungkinan terkait penyelenggaraan studi serina ini: luring atau daring, ketentuan dan pengumpulan peserta, keberlanjutan dan keluarannya, dan sebagainya. Sambil berpikir, saya membuka diri jika ada masukan dari handai tolan sekalian. Di dalam kelompok belajar ini, kita coba untuk tidak tiba-tiba terjun menyelami—atau malah tenggelam di dalam—konsep dan teori yang rumit. Kita akan belajar mengambang terlebih dahulu, kemudian berenang pakai pelampung, lalu coba lepas pelampung, lantas pelan-pelan bergeser dari kolam yang dangkal ke perairan yang lebih dalam dan lebih luas. Semoga saja kita tidak kehabisan napas atau digulung ombak.

(Instagram @budinddharmawan, 23 November 2020)

Kelompok belajar ini terbuka untuk siapa saja, namun tetap dibatasi dan dengan beberapa syarat. Yang saya tekankan secara khusus adalah peran serta aktif di dalam percakapan kelompok, sebab forum belajar bersama ini memang berlandaskan diskusi dan tukar pikiran. Saya sampaikan berulang kali, bahwa Serina bukan kelas ataupun webinar, yang pesertanya bisa menyimak paparan guru atau pengisi materi dengan pasif. Serina sejak semula saya maklumatkan sebagai kelompok belajar, yang berprinsip semua partisipannya saling menjadi guru sekaligus sebagai murid bagi yang lain. Jumlah peserta jadi perlu dibatasi agar tidak terlalu banyak, sehingga percakapan kelompok dapat berlangsung lebih nyaman.

Saya tidak ingat kapan atau bagaimana persisnya, tetapi di dalam masa persiapan ini, saya membuat sejumlah penyesuaian di dalam rencana pelaksanaan Serina. Basis kegiatan Serina tetaplah membaca dan kemudian membincangkan bacaan itu di dalam pertemuan yang berlangsung setiap pekan. Hanya saja, setelah saya pikir-pikir lagi, daftar bacaan yang saya siapkan terasa kurang cocok untuk menjembatani para calon peserta yang latar belakangnya akan amat beragam dan tidak berangkat dari titik yang sama di dalam membicarakan fotografi dan budaya visual.

Buku-buku seperti On Photography­-nya Susan Sontag; Image, Music, Text dan Camera Lucida-nya Roland Barthes; atau Ways of Seeing dan Understanding a Photograph-nya John Berger mengandaikan pembacanya sudah memiliki bekal yang cukup untuk dapat turut menyigi apa dan bagaimana fotografi bekerja, sebagai praktik dan sebagai disiplin (ketiga cendekiawan itu termasuk yang isi bukunya diringkas oleh Ashley la Grange di dalam Basic Critical Theory for Photographers). Daftar bacaan Serina lalu saya ganti dengan buku-buku pengantar (teori) fotografi, di antaranya Photography-nya Stephen Bull, Photography: A Critical Introduction-nya Liz Wells, dan Photography: The Key Concepts-nya David Bate.

Studi Serina (Sejarah-Teori-Wacana)
Setiap Rabu 19.30–21.30 WIB
Mulai 2 Desember 2020

Bagian pertama
Topik 1: Perkenalan Studi Serina
Topik 2: Sejarah fotografi
Topik 3: Memahami fotografi
Topik 4: Teori fotografi
Topik 5: Memahami foto

Setiap topik mengulas satu bab dari 2–3 buku; setiap pertemuan mengupas satu bab per buku. Bacaan untuk dibicarakan setiap pertemuan akan dibagikan pada pertemuan sebelumnya. Setiap peserta bertugas memantik percakapan pada setiap pertemuan secara bergiliran.

Kelompok belajar ini gratis, dengan syarat peserta tekun membaca dan berperan aktif di dalam percakapan. Keikutsertaan bersifat terbuka, dengan harapan partisipan punya pengalaman dan pemahaman yang cukup tentang teknik dan praktik fotografi, supaya dapat meresapi dan merefleksikan materi bacaan.

Pertemuan diselenggarakan secara daring melalui Zoom atau Google Meet, sekaligus luring di perpustakaan mini di rumah saya. Rekan-rekan yang ingin ikut kelompok belajar ini disilakan mendaftar kepada saya lewat WhatsApp, dengan cara ketik REG <spasi> SERINA <spasi> NAMA LENGKAP, diikuti perkenalan singkat, serta alasan dan motivasi mengikuti Studi Serina.

Agar forum kondusif dan interaktif, jumlah partisipan akan dibatasi. Hal-hal yang belum ditentukan akan dibuatkan ketentuannya pada saat ketentuan itu dibutuhkan, sementara ketentuan yang dirasa tidak relevan akan diperbarui. Dengan rendah hati, saya menerima sumbang saran, sumbang bacaan, dan sumbang dana dari rekan-rekan sekalian.

(Instagram @budinddharmawan, 27 November 2020)

Segera sesudah saya memasang pengumuman itu, sejumlah orang mulai menghubungi saya untuk mendaftarkan diri mengikuti Serina. Rata-rata, mereka merupakan pegiat fotografi, cukup banyak di antaranya mahasiswa, namun ada juga seniman teater. Masih banyak yang mengira Serina merupakan sejenis kursus singkat fotografi. Semampu saya, saya jelaskan ulang kepada mereka satu per satu, apa yang ingin saya lakukan di dalam Serina. Saya mencoba menggali juga apa yang kira-kira menarik dan mendorong mereka untuk mendaftar ikut Serina, guna mengatasi kemungkinan artikulasi mereka yang kurang baik saat mendaftarkan diri.

Dengan cara penyaringan sederhana seperti demikian, kalau tidak keliru, saya menerima dua puluhan orang dari sekitar tiga puluhan pendaftar, yang kemudian saya masukkan ke dalam grup WhatsApp guna memudahkan komunikasi. Yang tidak diterima umumnya karena mereka ingin belajar membuat foto di Serina, sehingga dengan diiringi permohonan maaf, saya sampaikan, bahwa saya belum bisa mengakomodasi keinginan mereka tersebut dan semoga mereka dapat menemukan yang mereka cari di tempat lain, pada kesempatan lain, dan dengan cara yang lain.

Para peserta Serina yang pernah saya catat di antaranya Prasetya Yudha, Kurnia Yaumil Fajar, Nanda Widyasari, Yoga Liberiawan, Muhammad Alzaki Tristi, Aditya Susanto, Anna Lintang Pertiwi, Eliesta Handitya, Nindias Nur Khalika, Nikita Ariestyanti, Gevi Noviyanti, Amal Purnama, Armin Setptiexan, Ekhy Ken, Ridhwan Siregar, Rizki Dwi Putra, Fajri Azhari, Jillian Robertson, Anissa Rachmatika Sari, Adhi Wijaya, Donnie Trisfian, Wisnu Wardito Aji, Felixrio Prabowo, dan saya sendiri.

Fotografi hampir selalu berada di tengah persilangan: antara yang memfoto dengan yang difoto, antara foto dengan pemirsa, antara teknik dengan wacana, antara teknologi dengan konstruksi sosial, antara dokumentasi dengan seni, antara masa kini dengan masa lalu, antara yang terlihat dengan yang dilihat, antara yang tampak di depan mata dengan yang direkam di dalam bingkai, antara objek trimatra dengan citra dwimatra.

Dengan demikian, percakapan mengenai fotografi bisa—namun sayangnya jarang—dilakukan dengan pendekatan yang lintas disiplin. Membaca dan membicarakan sejarah, teori, dan wacana merupakan tawaran upaya untuk meneruskan dan melengkapi perbincangan teknik dan praktik, yang sudah jamak ditemukan di medan fotografi. Yang dicita-citakan adalah membuka ruang-ruang yang sejauh ini jarang disinggahi dan kurang diakrabi, sebab—lagi-lagi sayangnya—sering terlanjur dianggap rumit dan elitis.

Pengetahuan memang bisa rumit, namun masih bisa dipelajari. Yang membuatnya menjadi elitis adalah karena dijauhi. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan bersama-sama mendekat dan saling belajar. Sejarah, teori, dan wacana adalah milik kita semua, sebagaimana fotografi juga telah menjadi milik kita semua melalui teknik dan praktik.

Studi Serina sudah mulai berjalan. Jika lancar, kelompok belajar gratis ini akan berlangsung setiap Rabu malam. Saya ucapkan terima kasih bagi rekan-rekan yang sudah mendaftar. Saya juga minta ampun dari teman-teman yang belum bisa bergabung, lantaran berbagai kekurangan yang membatasi saya. Selamat belajar.

(Instagram @budinddharmawan, 5 Desember 2020)

Biasanya, pertemuan Serina diikuti para partisipan saja, sebab ada bahan yang perlu dibaca terlebih dahulu sebagai bekal mengobrol di dalam setiap pertemuan. Ini berlangsung khususnya pada bulan-bulan pertama, ketika Serina membincangkan ihwal sejarah dan teori, yang sifatnya lebih tekstual. Pertemuan bisa menjadi lebih terbuka ketika topik Serina bergeser ke mewacanakan praktik. Orang di luar Serina dapat turut mengobrol, meskipun tidak membaca materi, dengan merefleksikan pengalaman dan pemahaman mereka di dalam menekuni fotografi. Beberapa kali, saya menggelar pertemuan Serina secara terbuka, dengan mengedarkan pengumuman dan tautan Zoom melalui Instagram. Pernah juga, saya menyediakan tautan salinan bahan bacaan, agar dapat diunduh dan dibaca orang selain partisipan Serina.

Soal bahan bacaan, yang memakai bahasa Inggris dan cara pandang Barat, pernah menjadi topik perbincangan di dalam salah satu pertemuan Serina. Sebagai pembaca Indonesia, ada kalanya kami merasa materi itu berjarak dan tidak pas dengan konteks lokal. Pokok bahasan sejarah fotografi di dalam buku-buku itu, umpamanya, tidak seujung kuku pun menyinggung kawasan non-Barat. Di dalam membicarakan sejarah fotografi Barat pun sering kali acuannya lembaga yang itu-itu lagi, seakan-akan pihak-pihak itulah yang paling berhak dan sahih menuliskan sejarah fotografi. Sejatinya, sejarah fotografi Barat hingga kini masih merupakan topik kajian yang aktif, jadi memang sebaiknya tidak dibaca sebagai narasi besar yang seolah-olah tunggal dan sudah baku.

Sejarah-sejarah fotografi di kawasan Asia dan Afrika, juga sejarah-sejarah kecil yang luput dari pencatatan, seperti kiprah perempuan di dalam (sejarah) fotografi, masih perlu terus digali dan diteliti. Perkembangan di dalam ilmu sosial dan kebudayaan, bahkan juga ilmu alam dan teknologi, turut menyumbang pemutakhiran cara pandang di dalam mengulas sejarah fotografi. Ini terlihat, salah satunya, kala Serina membahas topik bagaimana fotografi pada masa lalu pernah dipakai untuk mengukur dan membandingkan tubuh manusia, guna membenarkan teori yang menganggap ras kulit putih lebih unggul dibandingkan ras lain. Teori sesat itu kini telah ditinggalkan dan ikut memunculkan pertanyaan terhadap klaim fotografi sebagai medium rekam mekanis yang netral dan bebas nilai.

Untuk menyikapi perkara kesenjangan pengetahuan seperti demikian, saya menyarankan teman-teman partisipan Serina untuk mencari bacaan sampingan, supaya dapat dijadikan pembanding. Ada beberapa peserta, yang ketika tiba gilirannya piket memantik obrolan, mencari bacaan lain agar lebih mengerti isi buku rujukan Serina. Sebagai teks akademis, buku rujukan Serina memang disusun sebagai bunga rampai yang mengutip banyak pemikiran dari sumber lain. Melacak sumber-sumber yang dikutip baik juga dilakukan, untuk dapat makin memahami konteks dan maksud pengutipan (mengapa itu dikutip dan mengapa itu yang dikutip).

Beranjak dari topik-topik sejarah dan teori, Serina lalu mempercakapkan bagaimana fotografi digunakan untuk tujuan-tujuan dokumentasi, termasuk sebagai bukti, juga di dalam jurnalisme dan dokumenter, serta bagaimana fotografi dipakai sebagai medium dan karya seni. Pada salah satu pertemuan yang membicarakan fotografi dan seni kontemporer, saya sempat mengundang Wimo Ambala Bayang dari kolektif Ruang Mes 56 untuk membagikan pengalaman dan pandangannya terkait seluk-beluk seni kontemporer, baik di dunia dan khususnya di Indonesia, juga persentuhan dan irisannya dengan fotografi.

Setelah Serina berjalan beberapa lama, secara perlahan-lahan terasa juga, bahwa (a) tidak semua orang dapat menyediakan waktu untuk membaca secara rutin di tengah kesibukannya masing-masing; (b) tidak semua orang mudah menyerap isi bacaan, ditambah lagi materinya berbahasa asing; (c) tidak semua orang luwes mempresentasikan hasil bacaan dan memantik percakapan di dalam pertemuan; (d) tidak semua orang mau berpendapat dan menanggapi pendapat orang lain di dalam pertemuan; serta (e) masih ada kecenderungan untuk melihat Serina sebagai kelas (alih-alih kelompok belajar) dan saya sebagai pengampu atau pengajar (alih-alih fasilitator), sehingga tidak jarang peserta mengajukan pertanyaan kepada saya (alih-alih kepada forum untuk dibahas bersama). Saya mengaku secara terbuka kepada teman-teman partisipan, bahwa saya sendiri sering kewalahan.

Saya beberapa kali membicarakan hal-hal tersebut dengan teman-teman Serina, sebab saya pun masih belajar sambil mencoba di dalam memfasilitasi kelompok belajar dengan cara seperti ini. Makin lama, jumlah peserta aktif Serina menurun. Ada beberapa orang yang kemudian tidak lagi ikut pertemuan mingguan maupun percakapan di grup WhatsApp. Ada pula yang lantas keluar dari grup WhatsApp, setelah berpamitan dan mengutarakan alasannya tidak bisa terlibat lagi di Serina. Saya menghargai itu, karena keikutsertaan Serina memang tidak bersifat mengikat.

Pada tanggal tujuh bulan tujuh, di tengah masa saya mengurung diri di rumah lantaran terjangkit Covid-19, dengan dihadiri tujuh partisipan (termasuk saya), terselenggaralah pertemuan terakhir kelompok belajar Serina, setelah berjalan setiap pekan selama tujuh bulan (termasuk libur sebulan selama puasa Ramadan, April–Mei 2021). Saya mengistirahatkan Serina karena materi yang telah diulas saya rasa sudah cukup menjadi bekal bagi teman-teman untuk meneruskan sendiri membaca bab-bab lanjutan di dalam buku-buku rujukan. Alasan lain, yang mungkin sama-sama kami rasakan namun tidak kami ungkapkan dan percakapkan dengan terbuka, adalah menurunnya gereget untuk terus membaca dan membicarakan bacaan itu. Mungkin persiapan saya kurang matang. Mungkin cara saya kurang tepat. Mungkin saya kurang mampu memotivasi dan merawat antusiasme teman-teman.

Saya memprakarsai kelompok belajar ini untuk mencari teman bertukar pikiran soal fotografi, khususnya menyangkut sejarah, teori, dan wacana. Saya berterima kasih kepada teman-teman partisipan, karena telah menjadi rekan diskusi saya selama Serina berlangsung. Perbincangan ini saya harap dapat menjadi semacam pijakan bagi teman-teman di dalam melihat, memahami, dan membicarakan fotografi. Pelan-pelan, saya juga coba mengajak para peserta untuk menulis tentang fotografi, dengan memanfaatkan percakapan selama Serina sebagai landasan, atau justru berupaya mempertanyakannya, guna mengupas dan mencari pengertian yang lebih kontekstual dengan keadaan kita kini di sini.

Sambil tetap memendam harapan-harapan tersebut, saya mengistirahatkan kelompok belajar Serina untuk mengambil jarak, supaya saya dapat becermin dan melihat kembali, apa yang kira-kira dapat diperbaiki jika suatu saat Serina akan saya selenggarakan kembali. Tulisan ini adalah sedikit catatan saya mengenai proses refleksi itu.

--

--