Masyarakat Tangguh Banjir — Bagian 9

Epilog

“Membangun ketangguhan adalah perjalanan seribu langkah yang mesti kita lakukan selangkah demi selangkah setiap hari, sedikit demi sedikit.”
Francisco Ianni, Senior Officer, Floods Resilience, IFRC

Seperti ada kelegaan yang tertahan di dalam cerita-cerita tentang program MTB yang terkumpul dari orang-orang yang terlibat di lapangan, baik dari warga dampingan maupun dari pihak PMI selaku fasilitator. Lega, karena program telah berjalan dan membuahkan hasil. Tertahan, karena selesainya masa program bukan berarti berakhir pula kegiatan yang dijalankan untuk mencapai tujuan. Terlebih lagi, MTB memang digelar bukan dengan tujuan untuk menghilangkan banjir, melainkan membangun ketangguhan masyarakat yang terdampak, dengan meningkatkan daya tahan mereka di dalam menghadapi ancaman banjir. Pun ketangguhan menyiratkan kesiagaan dan kewaspadaan, secara aktif mengambil langkah pengurangan risiko, bukan semata-mata pasif menunggu bencana terjadi baru bertindak.

Ditinjau dari segi sejarah, banjir telah terjadi sejak berabad-abad silam. Jakarta, misalnya, dahulunya adalah dataran rendah berawa di tepi daratan aluvial, yang terbentuk karena endapan lumpur dari pegunungan berapi di wilayah selatan yang terbawa hujan tropis dan menumpuk¹. Sejak masa Kerajaan Tarumanegara pada abad kelima, luapan Sungai Ciliwung telah berulang kali menggenanginya. Keadaan bertahan seperti itu karena tata kota yang tidak tepat oleh para pendatang yang kemudian bermukim di sana. Sejak kedatangannya pada abad ke-17, VOC membangun kota di tepi Ciliwung, juga membabat hutan di tepian sungai untuk dijadikan perkebunan tebu. Setelah diolah jadi gula, ampas tebu pun dibuang ke sungai. Tidak sehatnya ekosistem Ciliwung tampak dari kondisi sungai yang tidak mampu menahan air; kering saat kemarau dan meluap saat musim penghujan.

Kondisi ini umum pula terjadi di sejumlah daerah aliran sungai yang lain. Sebagaimana faktor penyebab dan persoalan yang ditimbulkan banjir telah menjadi kian rumit, upaya penanggulangannya pun tidak bisa hanya dari satu sisi saja. Cukup disayangkan, unsur manusia yang terdampak justru sering diabaikan, seolah warga hanya jadi objek penderita. Pemberdayaan perlu dilakukan untuk kembali memanusiakan mereka, menempatkan warga kembali sebagai subjek. Masyarakat bukan cuma korban, melainkan juga punya peran secara ekologis dan sosiologis di dalam upaya penanggulangan banjir. Inilah kiranya peran yang coba diaktifkan melalui prakarsa program Masyarakat Tangguh Banjir.

Selain mengembangkan sumber daya manusia, MTB juga menggarap kapital lainnya yang bekerja di dalam sistem. Manusia bukan makhluk tunggal, melainkan hidup di dalam jaringan sosial. Jaringan sosial itu memengaruhi dan dipengaruhi lingkungan tempatannya, baik alam maupun bangunan. Sisi ekonomi dan keuangan, sebagai penunjang kehidupan manusia modern, tidak luput pula dari perhatian. Pendekatan yang menyeluruh seperti demikian penting untuk menjamin keberlanjutan program, karena semuanya saling terkait di dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.

Tidak kalah pentingnya adalah membangun kemandirian masyarakat di dalam menangani persoalannya sendiri, baik di dalam menghadapi bencana maupun menentukan langkah-langkah penanggulangannya. Pendekatan ini tampak nyata di dalam program MTB melalui titik berat pada pembentukan dan penguatan kelompok sukarelawan berbasis masyarakat, yaitu SIBAT. Di dalam perkembangannya, program SIBAT bisa dibilang merupakan terobosan cerdas yang menguntungkan semua pihak. Di satu sisi, masyarakat menjadi tangguh dan berdaya di dalam menghadapi bencana; di sisi lain kemandirian dan ketangguhan masyarakat itu meringankan tugas pengampu kepetingan lain yang terkait.

“Sebetulnya dengan adanya SIBAT, dampaknya dan manfaatnya buat PMI itu sangat besar. PMI juga ikut diuntungkan. SIBAT ini menjadi sukarelawan PMI yang ada di tengah masyarakat. Mereka yang tahu persis soal lingkungan mereka. Jadi, kalau ada apa-apa, kita tinggal support aja,” ungkap Wanto, Korlap MTB Surakarta. “Dulu kalau banjir, kita turun ke lapangan untuk assessment dan buru-buru bikin dapur umum di kantor. Sekarang temen-temen SIBAT gerak sendiri. Mereka melakukan assessment dan buka dapur umum sendiri.”

Guna mendorong kemandirian masyarakat pula, program MTB memberi bantuan kebutuhan tanggap bencana. Setiap desa dampingan diberi rambu dan alat evakuasi, berupa perahu, pelampung, dan sebagainya, agar warga dapat segera menyelamatkan diri saat terjadi bencana tanpa harus menunggu aba-aba dari petugas. Perkakas dapur umum juga diberikan agar warga dapat memenuhi kebutuhan logistiknya selama masa tanggap darurat. Tanggung jawab pelaksanaan tanggap darurat dan penggunaan kelengkapan tersebut didelegasikan kepada SIBAT, yang telah diberi pelatihan penanganan dan manajemen kebencanaan. Wanto menambahkan, “Kalau ada support dari PMI atau lembaga lain, langsung kita teruskan ke SIBAT. Karena lembaga lain pun terbantu. Kalau terjadi emergency mereka juga jadi enggak repot, karena sudah ada SIBAT di lapangan. Memang yang menjadi inti kegiatan SIBAT adalah pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.”

Setelah mengetahui kiprah dan manfaat SIBAT, banyak warga desa sekitar meminta PMI juga memberi pelatihan dan membentuk SIBAT di daerah mereka. Pemerintah pun berkomitmen mengembangkan SIBAT, seperti terjadi di Surakarta. “SIBAT sudah dirintis di tiga kelurahan ini, yang boleh dikatakan setiap tahun terkena bencana. Pemerintah Kota, Pak Wali sendiri, berharap bahwa program SIBAT itu bisa ditularkan ke kelurahan yang lain. Jelas kita mendukung, karena kita bangun apik-apik ya hancur semua terkena bencana. Kita harus bisa tanggap darurat,” kata Budi Yulistianto, Sekretaris Daerah Kota Surakarta.

Selangkah demi selangkah

Yang paling penting dari SIBAT adalah membentuk kesukarelaan, karena di atas dasar itulah kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat kemudian dibangun. Kesukarelaan menjadi kunci untuk mengubah kepedulian dan panggilan hati menjadi tindakan nyata. Yang lantas dirasakan jadi tantangan adalah bahwa para sukarelawan itu adalah juga warga yang terdampak bencana. Mereka mesti menjadi tangguh terlebih dahulu, mengatasi dirinya sendiri, sebelum bisa mengambil peran untuk menopang dan menolong warga lain.

“Sungguh tidak mudah menjadi anggota SIBAT. Orang-orang ini sungguh spesial. Ketika ada orang lain yang berada di dalam keadaan darurat, mereka mau bertindak dan menolong. Banyak orang memalingkan muka saat terjadi keadaan darurat. Akan tetapi, anggota SIBAT mendatanginya. Itu sukar; cuma orang spesial yang dapat melakukannya,” tutur Francisco Ianni, Senior Officer, Floods Resilience dari IFRC.

“Perubahan tidak akan tiba-tiba terjadi begitu saja. Kita ingin membentuk kebiasaan kecil yang menciptakan kesadaran sosial. Sebagai manusia, kita telah kehilangan hubungan simbiosis dengan alam. Benda-benda organik akan kembali ke tanah dan didaur ulang sebagai bagian dari siklus alami kita. Benda-benda yang tidak organik akan tetap berada di permukaan, mengakibatkan banjir, membinasakan hewan, menimbulkan banyak persoalan,” tambahnya. “Memang akan ada kalanya anggota SIBAT lelah dan perlu digantikan. Namun demikian, kita perlu memastikan bahwa kita terus bergerak dan membuat kemajuan.”

Untuk mengubah pandangan dan mendorong tindakan, Francisco menyampaikan perlunya dua langkah awal. “Yang pertama adalah menciptakan kesadaran. Orang perlu tahu, karena banyak orang tidak sadar bahwa mereka dapat terkena risiko. Yang kedua adalah kesepakatan terkait dua pertanyaan kunci: apakah isu ini penting dan apa yang dapat kita lakukan untuk menanggapinya.”

Terkait pelaksanaan program MTB di Indonesia, Francisco melihat beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan program serupa yang juga dijalankan di negara lain. “Di Meksiko juga ada tim tanggap bencana berbasis masyarakat, seperti SIBAT di Indonesia. Perbedaannya, SIBAT di sini mendapatkan pengakuan formal dari pemerintah setempat. Program juga berjalan dengan kerja sama yang erat, tidak hanya dengan cabang Palang Merah setempat, namun juga dengan pemerintah dan pemangku kepentingan kunci lainnya. Saya pikir ini perbedaan penting yang perlu kita coba untuk diterapkan di negara-negara lain di dalam program-program lain. Juga menggandeng pemangku kepentingan yang lebih luas untuk menyokong kelompok tanggap bencana masyarakat setempat untuk jangka panjang.”

Kerja sama antarpemangku kepentingan juga ditekankan oleh PMI, di dalam membangun dan meningkatkan kesiagaan bencana secara berkelanjutan. “Bencana ada tiga tahapan: prabencana, bencana atau emergency, dan pascabencana atau recovery. Siklus ini berlangsung terus-menerus, sehingga pada waktu belum terjadi bencana, kita menggarap yang dinamakan pengurangan risiko. Integrated community based risk reduction atau ICBRR. Jadi diintegrasikan, tidak jalan sendiri-sendiri. Makanya dengan adanya MTB ini, LSM yang mengadakan pelatihan, pendidikan, dan sebagainya kita dukung, termasuk dengan Zurich dan IFRC ini,” ungkap Letjen TNI (Purn.) Sumarsono, S.H., Ketua Bidang Penanggulangan Bencana PMI Pusat.

Mengenai koordinasi yang dilakukan program MTB dengan pihak pemerintah, Sumarsono menambahkan, “Semua program ini kita harapkan bisa diadopsi menjadi program pemerintah. Contoh, di Bandung. FEWEAS dan sebagainya. Kita ‘kan mampunya hanya beberapa titik, sehingga kalau bisa nanti di-copy ke desa lain. Intinya, masyarakat kita ajak care dengan pengurangan risiko bencana.”

Kepedulian masyarakat telah pelan-pelan terbentuk, sebagaimana tampak di daerah-daerah dampingan program. Di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Karawang, sumur artesis bantuan dari MTB dibangun di atas tanah warga, karena memang lokasinya dipilih yang dekat dari mereka yang membutuhkan. Pemeliharaan dan pengeluaran operasionalnya, semisal ongkos listrik untuk pompanya atau biaya perbaikan bila kran rusak, ditanggung warga dengan cara iuran. Anggota SIBAT di berbagai daerah menyatakan kesiapannya untuk terjun ke masyarakat, meninggalkan apa pun yang sedang mereka lakukan jika terjadi keadaan darurat. Setelah mendapat pelatihan tentang kebencanaan dan kesehatan, para sukarelawan SIBAT di Kabupaten Bojonegoro aktif melakukan penyuluhan kepada masyarakat, hingga mencapai ribuan warga. Itu semua karena mereka peduli.

“Dari amatan kami, program ini mencapai hasil yang berbeda-beda,” kata Surendra Kumar Regmi, Disaster Risk Reduction Delegate dari IFRC. “Proyek pemberdayaan masyarakat punya dua sisi. Yang pertama, meningkatkan kesiapsiagaan dan kapasitas masyarakat. Yang kedua, memberi mereka beberapa solusi pengurangan risiko. Tidak semua daerah dapat mencapai hasil di kedua sisi itu seperti yang diharapkan. Di beberapa daerah, ada yang gagal, ada yang berhasil. Ada yang solusi pengurangan risikonya kurang berhasil, sementara peningkatan kapasitas dan kesiagaannya bagus.”

“Peran kami sesungguhnya adalah mengembangkan jalan keluar yang mangkus dan dapat dijalankan, untuk dijadikan contoh bagi masyarakat dan para pemangku kepentingan. Setelah itu, kami harapkan pemerintah dapat mengembangkan dan mereplikasinya, menggandeng pihak swasta dan LSM. Dari sudut pandang itu, meskipun skala program ini tidak besar, namun menurut saya program ini telah berjalan dengan sangat baik. Saya punya keyakinan besar terhadap program ini,” ungkap Surendra. Salah satu dukungan juga dilontarkan oleh Edy Santosa, S.H., Wakil Bupati Wonogiri, “Ini adalah suatu hal yang sangat positif, baik, efektif dan efisien, tentunya Pemerintah Kabupaten Wonogiri akan tanggap dengan hal ini dan punya kewajiban untuk menindak lanjuti program ini.”

Pelibatan berbagai pihak untuk mengembangkan program dirasa penting pula oleh pihak Zurich. “Sejauh ini, Zurich adalah penyandang dana satu-satunya. Kami ingin terus bekerjasama dengan PMI dan IFRC, jadi kami akan memerlukan mitra tambahan,” ungkap David Nash, Manajer Z Zurich Foundation.

Fase lanjutan dari program ini, menurut David, akan mencakup bagaimana mendorong praktisi di masyarakat untuk mengembangkan program dan mendorong masyarakat untuk mengelola aset dan investasinya secara lebih cerdas, khususnya terkait ancaman risiko banjir. “Hanya karena Anda diasuransikan, belum tentu Anda bisa tangguh,” ujar David.

¹ http://news.liputan6.com/read/2869714/banjir-jakarta-dari-letusan-gunung-salak-hingga-kilang-tebu

***************

Seri tulisan ini merupakan hasil liputan saya untuk program Masyarakat Tangguh Banjir, yang dilaksanakan PMI bekerja sama dengan IFRC dan Zurich. Saya mengunjungi tujuh daerah dampingan program yang terletak di Jakarta (Kota Jakarta Selatan), Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Bandung), Jawa Tengah (Kabupaten Wonogiri dan Kota Surakarta), dan Jawa Timur (Kabupaten Bojonegoro) pada Januari 2018. Saya menuliskan laporan saya dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris selama sebulan berikutnya. Hasil liputan ini telah diterbitkan sebagai buku pada Maret 2018. Versi PDF buku tersebut dapat diunduh melalui tautan https://www.rcrc-resilience-southeastasia.org/wp-content/uploads/2019/01/Zurich-Program-CFR-di-Indonesia-Bahasa-Indonesia-small-2P.pdf.

--

--