Hari Buku Foto Dunia dan selayang pandang buku foto Indonesia

Komunitas fotografi dunia merayakan 14 Oktober sebagai Hari Buku Foto Dunia. Perayaan ini memperingati hari diterbitkannya buku pertama yang menggunakan ilustrasi citra fotografis, Photographs of British Algae: Cyanotype Impressions, pada 1843 oleh Anna Atkins, seorang juru foto dan pakar botani berkebangsaan Inggris. Kendati peristiwa aslinya sudah lama berlalu, Hari Buku Foto Dunia belum lama dirayakan.

Sebelumnya, orang lebih mengenal William Henry Fox Talbot, sang Bapak Fotografi Inggris, sebagai pembuat buku foto pertama. Nyatanya, buku berjudul The Pencil of Nature itu baru terbit pada 1844. Buku Talbot lebih dikenal luas lantaran memang diproduksi secara komersial, guna memasarkan proses negatif/positif yang dikembangkan Talbot pada 1839. Lain cerita buku Atkins, yang diterbitkan mandiri dan dicetak terbatas.

Penerbitan mandiri bisa dikatakan menjadi penggerak kebangkitan buku foto di Indonesia, khususnya satu dasawarsa terakhir. Menanggapi tren yang berkembang itu, saya bersama Kurniadi Widodo menggelar acara Kumpul Buku Foto Yogyakarta sejak 2013, walaupun tidak rutin setiap tahun. Meminjam gagasan acara serupa yang pernah kami hadiri di Jakarta pada tahun sebelumnya, kami membawa buku foto dan mengundang kawan-kawan untuk datang membawa buku mereka, agar hadirin dapat saling bertukar dan membaca bersama.

Pada Kumpul Buku Foto Yogyakarta 2014, kami mengadakan temu wicara dengan juru foto yang telah menerbitkan buku foto secara mandiri. Kami meminta mereka berbagi cerita soal proses di balik layar penerbitan mandiri, di samping juga tentang karya foto yang mereka jadikan buku tersebut. Sejumlah rekan lain kemudian turut mengadakan acara dengan format yang kira-kira sama di kota masing-masing, seperti di Surakarta dan Salatiga.

***

Penerbitan buku foto di Indonesia seakan-akan terlahir kembali pada abad ke-21. Ini terlihat dari meningkatnya jumlah terbitan, dibandingkan dengan periode sebelumnya. Beberapa buku yang membekas dari awal masa ini di antaranya The Long and Winding Road: East Timor oleh Eddy Hasby (Aliansi Jurnalis Independen, Jakarta, 2001), karena hingga saat itu sedikit sekali buku foto Indonesia berupa monografi, dan antologi Samudra Air Mata, yang disunting oleh Oscar Motuloh (Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, 2005), sebab buku tersebut seperti menjadi fondasi kegetolan GFJA menerbitkan buku foto setiap tahun.

Jejak penerbitan buku foto Indonesia pada abad ke-20 tidak banyak dan kurang beragam. Topik umum buku foto selama Orde Baru, umpamanya, adalah pariwisata, dengan penggambaran alam, masyarakat, dan budaya Indonesia sebagai cantik molek dan gemah ripah loh jinawi. Ini sejalan dengan rajinnya pemerintah mempromosikan Tahun Kunjungan Indonesia waktu itu. Buku jenis ini biasanya menyebut Indonesia sebagai judul utamanya.

Contohnya, antologi Indonesia: A Revelation in 1974 (Direktorat Jenderal Pariwisata, Jakarta, 1975), antologi Indonesië: Volken en Stammen, yang disunting Joep Büttinghausen (Amsterdam Boek, Amsterdam, 1981), Indonesia: Manusia dan Masyarakatnya, yang difoto selama tiga tahun oleh Ian Charles Stewart (Pranawajati, Jakarta, 1987), serta antologi Indonesia: A Voyage Through the Archipelago, sebuah proyek besar, yang menghimpun sejumlah juru foto kenamaan Indonesia dan asing untuk memfoto keindahan Indonesia (Millet Weldon Owen, Paris, 1990).

Salah satu buku foto yang mencolok, sebab berbeda dari yang kebanyakan dan terasa senada tersebut, adalah kumpulan esai foto karya Rama Surya, Yang Kuat Yang Kalah (Fotomedia, Jakarta, 1996). Penerbitan buku ini konon menghebohkan, sebab waktu itu tidak banyak orang menekuni esai foto. Karya-karya di dalamnya dinilai gemilang, terlebih lagi mengingat juru fotonya masih berusia relatif muda saat buku itu terbit.

Penanda lain era 1990-an adalah dibukukannya karya juru foto zaman kolonial yang berkarya di Hindia Belanda. Misalnya, Woodbury & Page: Photographers Java oleh Steven Wachlin (KITLV, Leiden, 1994) dan Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan oleh Gerit Knaap, tentang juru foto pribumi Indonesia pertama Kassian Céphas (KITLV, Leiden, 1999). (Céphas juga merupakan juru foto Indonesia pertama yang karyanya diterbitkan di dalam buku, yaitu In den Kedaton te Jogjåkartå: Oepatjara, Ampilan en Tooneeldansen (E.J. Brill, Leiden, 1888) dan De garĕbĕg’s te Ngajogyåkartå (KITLV, Leiden, 1895), keduanya disusun oleh Isaäc Groneman.)

Terbitnya buku foto bermuatan sejarah tersebut didahului munculnya buku yang mengupas sejarah fotografi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda. Umpamanya, Toekang Potret: 100 Jaar fotografie in Nederlands Indië 1839–1939, disusun oleh Anneke Groeneveld dkk. (Fragment, Amsterdam, 1989) dan Towards Independence: A Century of Indonesia Photographed, disunting oleh Jane Levy Reed (Friends of Photography, San Francisco, 1991).

***

Dasawarsa pertama abad ke-21 diwarnai pula dengan kehadiran penerbit premium yang punya perhatian khusus dengan buku foto, seperti Red & White Publishing dan Afterhours Books. Buku mereka sejak awal diniatkan sebagai buku meja kopi, dengan tampilan mewah dan ditunjang rancang grafis istimewa. Monografi Soulscape Road karya Oscar Motuloh (Red & White Publishing, Jakarta, 2009) merupakan salah satu contohnya. Buku bagus, sekurang-kurangnya secara tampilan, kini dapat dibilang punya tolok ukur baru.

Pada dasawarsa kedua abad ke-21, dunia penerbitan buku, khususnya buku foto, mengalami pergeseran. Kemudahan mencetak dengan teknologi digital (berkas dapat langsung dicetak tanpa perlu membuat pelat terlebih dahulu) membuat orang dapat mencetak di dalam jumlah kecil, sehingga mengirit ongkos. Kemudahan ini membuka jalan bagi penerbitan mandiri. Orang tidak perlu lagi bergantung pada penerbit besar.

Penerbitan mandiri buku foto di Indonesia diawali salah satunya oleh pewarta foto Boy T. Harjanto. Sejak 2011, dia membukukan dan menerbitkan sendiri foto-fotonya, di antaranya Merapi 120 fps (2011), Merapi Volcano (2012), Erupsi Merapi (2013), dan Mt. Merapi (2014), diikuti Kelud (2014), Java Volcano Eruption (2015), Buku Jogja (2016), dan Fotografi Ruang Publik (2016).

Dipasarkan terutama sebagai semacam kenang-kenangan, tidak seperti lazimnya buku foto, buku-buku itu telah berkali-kali dicetak ulang dan terjual sampai 25.000 jilid. Angka ini jauh melampaui penjualan penerbit besar sekalipun. Saya dengar, juru foto dan kolektor buku foto Martin Parr sampai mencari cetakan pertama seri lengkap buku Harjanto untuk dikoleksi.

Meski belakangan cenderung stagnan, penerbitan mandiri buku foto mulanya meningkat cepat. Beberapa pegiat buku foto mengambil peluang itu dengan membentuk usaha penerbitan mandiri berskala kecil. Misalnya, ada Gueari Galeri di Jakarta dan SOKONG! Publish di Yogyakarta. Praktik penerbitan mandiri ditandai pula dengan makin beragamnya bentuk, bahan, cetakan, dan jenis buku foto yang dibuat. Ada kertas HVS, ada kertas offset; ada cetakan digital, ada fotokopian; ada proyek pribadi bercorak dokumenter, ada pula narasi pribadi.

Buku foto terbitan mandiri lebih berani meninggalkan kesan luks — bukan lantaran terpaksa akibat dana terbatas, melainkan justru secara sengaja, guna makin melantangkan gagasan karya. Sebagai contoh, Dewi Pantura karya Arum Tresnaningtyas Dayuputri (Radar Cirebon, Cirebon, 2013) wujudnya seperti tabloid, sementara Tanah yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro (PannaFoto Institute, Jakarta, 2014) dikemas seperti surat tanah.

Penerbitan mandiri tidak kaku, sehingga memungkinkan penjelajahan dan percobaan. Salah satu kelompok yang terbentuk dengan semangat itu adalah Flock Project, kolaborasi Kurniadi Widodo, Aji Susanto Anom, dan Arif Furqan. Terbitan perdana mereka, Flock Volume 01 (mandiri, Yogyakarta, 2016), beredar luas sampai ke sejumlah ruang fotografi luar negeri. Di negeri sendiri, Flock disebut sebagai energi baru penerbitan mandiri secara berkelompok.

Di sisi lain, komunitas fotografi Indonesia juga mulai memandang penting ketokohan dan kesejarahan lewat penerbitan buku. Misalnya, Julian Sihombing: Remastered, yang disunting Oscar Motuloh (GFJA, Jakarta, 2013), IPPHOS: Remastered, yang disusun oleh Yudhi Soerjoatmodjo (GFJA, Jakarta, 2013), dan Bandung 1955: Moments of Asian African Conference, yang berisi arsip juru foto Paul Tedjasurja saat meliput Konferensi Asia Afrika (Air Foto Network, Bandung, 2015). Ada beberapa juru foto Indonesia lain yang jejak karya dan riwayatnya saya dengar bakal turut dibukukan, tetapi niatan itu masih belum terwujud hingga sekarang.

***

Setelah absen selama tiga tahun, Kumpul Buku Foto Yogyakarta kembali saya adakan pada 2018. Acara saya geser ke pertengahan Oktober, agar membarengi perayaan Hari Buku Foto Dunia ke-175. Di situ, saya coba meneruskan percakapan tentang penerbitan mandiri, dengan membuat temu wicara soal segi-segi lain dari pembuatan buku foto, seperti penulisan narasi, rancang grafis dan produksi, serta pemasaran dan penjualan.

Tidak sedikit juru foto yang merasa pekerjaannya selesai sehabis buku dicetak. Padahal, penerbitan mandiri juga perlu pemasaran mandiri. Sementara itu, yang disebut pasar pun masih tidak jelas, lantaran pembeli buku foto belum terpetakan, khususnya di luar kalangan juru foto. Juru foto sering membeli buku foto karena berteman dengan pembuatnya, sehingga peredaran buku foto terbitan mandiri kerap hanya di lingkaran yang itu-itu saja.

Di sisi lain, tidak banyak juru foto yang bersungguh-sungguh mengerjakan proyek foto sehingga dapat dibukukan. Soal-soal seperti meneliti dan mendalami tema, mengembangkan proyek foto, juga menyunting dan menyusunnya menjadi buku foto, saya kira masih dapat ditelusuri. Kawan-kawan pegiat buku foto, khususnya penerbitan mandiri, telah beberapa kali pula menggelar lokakarya guna menyentuh perkara ini.

Kumpul Buku Foto Yogyakarta, sekaligus perayaan Hari Buku Foto Dunia, masih saya selenggarakan hingga kini secara kecil-kecilan. Akan halnya peristiwa-peristiwa lain yang tidak dapat diadakan secara langsung gara-gara pandemi, acara ini pun saya pindah ke dunia maya. Mimbar daring bisa melipat jarak, sehingga kita dapat bertatap muka secara tidak langsung. Akan tetapi, yang menarik dari buku foto sejatinya adalah kebendaannya, yang lebih nikmat kalau bisa dijamah, tidak cuma dipandang.

———————

Tulisan ini saya buat untuk memenuhi undangan mengisi kolom fotografi di situs web Kompas. Ini naskah asli yang saya kirimkan. Versi lain tulisan ini diterbitkan setelah mengalami penyuntingan di https://www.kompas.id/baca/foto/2021/10/15/hari-buku-foto-dunia-dan-selayang-pandang-buku-foto-indonesia.

--

--