Masyarakat Tangguh Banjir — Bagian 7

Kota Surakarta: Aliran Tengah Bengawan Solo

S.M. Budi Utomo (42), sukarelawan SIBAT Kelurahan Sewu, awalnya menyangka kedatangan program MTB pada 2015 hanya akan seperti program-program lain yang sebelumnya pernah dilaksanakan di kampungnya.

Kelurahan Sewu merupakan salah satu wilayah yang paling terdampak bila terjadi banjir saat aliran Bengawan Solo meluap. Sudah berulang kali berbagai lembaga, baik dari pihak pemerintah maupun swasta, datang dan pergi ke kampung padat penduduk itu menawarkan berbagai macam program dan bantuan.

“Dulu saya kira cuma pelatihan di Tawangmangu, terus nanti nanam apa, sudah selesai. Paling-paling seperti program lainnya, cuma pelatihan dua hari, tiga hari, ya paling mentok sebulan, terus sudah, enggak diapa-apain lagi. Biasanya gitu. Ketika kepilih jadi Ketua SIBAT juga saya enggak membayangkan ini akan berjalan sampai dua tahun lebih,” ungkapnya.

Perekrutan sukarelawan SIBAT merupakan salah satu langkah di dalam pelaksanaan program Masyarakat Tangguh Banjir, yang dijalankan PMI melalui kerja sama dengan IFRC dan Zurich Insurance Indonesia. Di Kota Surakarta, program dilaksanakan di Kelurahan Sewu di Kecamatan Jebres, serta Kelurahan Sangkrah dan Kelurahan Semanggi di Kecamatan Pasar Kliwon. Ketiganya dipilih dari tujuh kelurahan yang dilalui Bengawan Solo di Surakarta karena merupakan yang paling terdampak setiap kali Bengawan Solo meluap.

Perekrutan anggota SIBAT dilakukan oleh pihak kelurahan. PMI meminta berbagai unsur yang ada di kelurahan ikut dilibatkan. Sebagai organisasi baru, SIBAT memerlukan dukungan orang-orang yang punya pengaruh di dalam masyarakat. Pada tataran kelembagaan, PMI Kota Surakarta juga menjalin komunikasi dan koordinasi dengan Badan Lingkungan Hidup, BPBD, BBWS Bengawan Solo, dan LPPM Universitas Sebelas Maret.

Melalui program ini, PMI ingin melakukan penguatan menyeluruh dengan pendekatan lima sumber daya yang dimiliki masyarakat, yaitu manusia, sosial, alam, fisik, dan ekonomi. “Terutama yang menjadi target kami adalah membangun SDM warga. Kalau SDM-nya sudah baik, harapannya sisi-sisi lainnya jadi gampang dikuatkan. Kalau ekonominya dibangun sementara SDM-nya kurang ya sama saja,” tutur Wanto, staf PMI Kota Surakarta yang menjadi Korlap program MTB Kota Surakarta.

“Di SIBAT selalu ada pelatihan, kayak enggak pernah putus,” ujar Budi. “Program pemerintah itu sering cuma dibentuk terus dilepas. Kemarin pemerintah membentuk Pokja Sungai. Saya jadi ketua juga di situ. Setelah pembentukan pengurus, lalu sudah, ditinggal begitu saja, sampai berbulan­ bulan enggak pernah diajak ketemu atau diundang rapat lagi.”

Sejak kecil, Budi tinggal di tepi Bengawan Solo dan telah mengalami banjir luapan Bengawan Solo. Pembebasan lahan di pinggir sungai yang dilakukan oleh pemerintah guna pembangunan tanggul pada 1990 turut memotong tanah ayahnya. “Waktu itu tanah bapak saya 1.000 meter [persegi] dapat ganti rugi Rp 5 juta. Semeternya Rp 5.000. Waktu itu saya sekolah dikasih sangu Rp 300,” tutur Budi, yang juga menjadi Ketua RT di kampungnya. “Sekarang saya masih tinggal di pinggir sungai, tapi sudah di dalam tanggul.”

Tinggal di tepi sungai, Budi kecil sering melihat kegiatan tim SAR di Bengawan Solo, seperti evakuasi korban banjir, menolong orang tenggelam, juga lomba dayung. Pengalaman itu memunculkan minatnya untuk melakukan kegiatan serupa suatu saat nanti. Hatinya tergerak saat banjir besar menerjang sejumlah daerah di sepanjang Bengawan Solo, termasuk Surakarta pada 2007, suatu kejadian yang masih hangat di dalam ingatan banyak warga.

Peristiwa satu dasawarsa lalu itu merupakan banjir terbesar kedua yang melanda sungai terpanjang di Pulau Jawa itu setelah kejadian pada 1966¹. Tiga perempat bagian Kota Surakarta terendam pada 1966. Di beberapa wilayah kedalaman air mencapai enam meter, seperti di Sangkrah dan Pasar Kliwon². Air masuk ke kota dan naik dengan cepat, lantas menggenangi kota selama tujuh hari. Presiden Suharto menetapkannya sebagai bencana nasional. Untuk mencegahnya terjadi lagi, pemerintah membangun Waduk Gajah Mungkur guna membendung kawasan hulu Bengawan Solo di Wonogiri pada 1976.

Pembanguan waduk yang diperkirakan mampu menampung limpahan air selama 100 tahun itu tidak akan secara ajaib menghapus banjir dari Bengawan Solo. Banjir besar yang merendam Surakarta hingga selama dua pekan pada 2007 menunjukkan betapa waduk itu telah kewalahan. Pun setiap musim penghujan Bengawan Solo selalu meluap dan membanjiri Kota Surakarta sebanyak tiga hingga empat kali dengan kedalaman 50–300 cm.

Banjir akibat luapan Bengawan Solo telah terjadi bahkan sebelum Surakarta didirikan oleh Pakubuwana II sebagai ibukota baru Kerajaan Mataram, setelah pindah dari Kartasura pada 1745. Sehabis Kerajaan Mataram terpecah melalui Perjanjian Giyanti 1755, salah satunya menjadi Kasunanan Surakarta, Pakubuwana III membangun tanggul di daerah Sangkrah. Pada 1900, dibangun tanggul mengelilingi Surakarta yang dibiayai bersama oleh Pakubuwana X, Mangkunegara VI, dan pemerintah kolonial Belanda. Toh tanggul baru ini tidak menghentikan banjir, yang kembali lagi merendam Surakarta pada 1915.

Sejak semula, Kota Surakarta memang didirikan di daerah rawa yang dialiri beberapa sungai. Surakarta juga merupakan dataran rendah yang dikelilingi perbukitan Wonogiri di selatan, Gunung Merapi di barat, perbukitan Kendeng di utara, dan Gunung Lawu di timur. Kawasan itu menjadi cekungan yang menampung limpahan air setiap musim penghujan. Perubahan alih fungsi lahan, erosi dan pendangkalan, serta pertumbuhan penduduk ikut memengaruhi daya tampung Bengawan Solo, di samping juga sejumlah faktor lain.

Yang berhasil dan yang tidak berhasil

Ester Murtiningsih (50), sukarelawan SIBAT Sewu, seperti Budi, adalah juga seorang mantan warga bantaran Bengawan Solo. Sejak kecil, Ester telah mengalami banjir dengan ketinggian dari selutut orang dewasa sampai yang menenggelamkan rumahnya. “Tahun 2014 saya kena gusuran, uang relokasinya saya pakai untuk beli rumah ini,” tutur Ester. “Makanya, saya mau ikut SIBAT. Saya dulu juga terdampak. Saya merasakan seperti apa susahnya jadi korban kebanjiran. Saya ingin membantu teman-teman, khususnya yang masih di bantaran.”

Sejak masih tinggal di bantaran sungai, Ester suka menanam sayuran. Setelah pindah, dia menemui kendala baru, yaitu keterbatasan lahan. Ester mencoba menanam sayur dengan cara vertiminaponik, yaitu cara bertanam di lahan terbatas yang menggabungkan sistem penanaman dengan instalasi vertikal dan budidaya ikan yang ditempatkan di bawahnya. Ester mengawalinya dengan membuat satu buah instalasi vertiminaponik.

Ketika program MTB masuk tidak lama kemudian, PMI melirik vertiminaponik sebagai salah satu potensi yang ada dan dapat dikembangkan, tidak hanya di Sewu, namun juga di Sangkrah dan Semanggi. “Vertimina ini titik temu dua hal yang ingin dicapai program, penghijauan dan penguatan ekonomi. Penanaman biasa di tanah rawan terhadap banjir, begitu kena banjir mati semua. Vertimina tidak terpengaruh banjir, karena posisinya di atas. Daerah perkotaan seperti Solo ini lahan untuk menanam juga sangat sulit,” ujar Wanto.

“Kita sosialisasi ke masyarakat dengan contoh. Kalau kita cuma mengajak tanpa ada contoh, warga tidak melihat hasil, enggak akan tertarik. Apalagi, saya penduduk baru di sini. Kebetulan waktu itu vertimina dan hidroponik sedang nge-tren. Reaksi warga positif sekali, banyak yang tertarik dan mau. Tapi yang namanya program biasanya orang semangat di depan, perawatannya kendur. Makanya, kita memilih orang yang suka menanam dulu, sehingga terawat sampai sekarang. Memang ada satu atau dua yang enggak jalan, bukan berarti mereka berhenti, cuma mungkin nutrisinya kurang atau ada hama yang mereka belum paham cara mengatasinya,” ungkap Ester, yang menjadi koordinator program vertiminaponik MTB di ketiga kelurahan dampingan.

Di dalam pelaksanaan vertiminaponik, warga menanam beberapa jenis sayuran umur pendek seperti kangkung, sawi, selada, seledri, dan min, serta merawat ikan nila dan lele. Banyak warga yang ikut tertarik dan membuat sendiri instalasi penanamannnya, bahkan hingga di luar kelurahan dampingan program. Mereka kini tergabung di dalam Kelompok Tani SIBAT Solo, yang berkembang dari Kelompok Tani SIBAT Sewu. Hasil panen masih dikonsumsi sendiri, dibarterkan dengan hasil panen warga lain, dan ada beberapa yang dijual. Hasil penjualan dimanfaatkan untuk membeli benih. “Kita sedang proses pembuatan koperasi, agar vertiminaponik ini lebih terkelola dan menguntungkan semua,” ujar Ester.

MTB juga coba mengembangkan pemanfaatan sumur resapan. Program ini digagas oleh Badan Lingkungan Hidup Surakarta, yang mengharuskan pembuatan minimal satu buah sumur resapan di setiap kantor kelurahan se-Surakarta. Prakarsa ini diadopsi oleh MTB dan dilaksanakan di sejumlah titik di sekitar kelurahan dampingan, salah satunya di rumah Ester. “Sebelum ada sumur resapan, rumah saya kalau hujan deras ada genangan, sekarang sudah tidak. Airnya langsung meresap. Dulu juga dua kali musim kemarau sumur saya kering. Padahal air PAM di sini kotor, jadi harus pakai sumur. Setelah ada sumur resapan, kemarau kemarin sumur saya ada airnya,” terang Ester, yang memenangkan juara pertama Duta SIBAT Nasional Putri pada Temu SIBAT Nasional II di Bogor, September 2017 lalu.

Erosi di daerah bibir sungai yang mengakibatkan pendangkalan Bengawan Solo juga ditangani MTB dengan melakukan penanaman guna mengikat tanah. Saat masa awal program pada September 2015, atas permintaan warga dan PMI Pusat agar segera ada penanaman di Surakarta, program MTB menanam mangga di kawasan bantaran sungai. Lewat koordinasi dengan LPPM UNS dan BBWS kemudian, baru diketahui tumbuhan besar tidak disarankan untuk ditanam di bantaran karena menghambat laju air. Sampah yang hanyut bisa tersangkut di situ dan semakin menghambat aliran sungai. Risiko kayu pohon terbawa arus juga cukup besar, membahayakan kawasan hilir dan bisa merusak bendungan. Pohon mangga pun ternyata tidak tumbuh optimal karena tanahnya tidak cocok.

“Dari LPPM UNS dan BBWS kemudian ada rekomendasi, yang mengikat tanah bagus dan tidak menghambat laju air adalah akar wangi. Tanamannya kuat, kena banjir enggak mati. Akarnya mengikat kuat, bisa sampai kedalaman satu meter. Pemerintah Kota juga mau mengembangkan akar wangi, mudah-mudahan bisa sepanjang bantaran Bengawan Solo,” kata Wanto. Dari penanaman yang dilakukan, hanya akar wangi di Kelurahan Semanggi yang tersisa. “Di Sewu sebetulnya luasnya tiga kali lipat yang di Semanggi, tapi dibabat habis untuk proyek parapet. Sekarang sudah mulai ditanami lagi.”

Ada juga rencana kegiatan MTB yang tidak terlaksana, seperti pengelolaan sampah. Sampah di Surakarta sesungguhnya telah terkelola melalui program pemerintah. Sejak 2016, Wali Kota Surakarta, F.X. Hadi Rudyatmo menghapuskan semua tempat pembuangan sampah sementara dan mengubahnya menjadi taman untuk mengamankan air tanah dari pencemaran zat-zat residu sampah³. Sebagai gantinya, pemerintah memberi bantuan mobil sampah kepada setiap kelurahan untuk dapat mengurus sampahnya secara mandiri.

“Yang ingin kami kembangkan adalah pemilahan sampah organik dan nonorganik. Yang menjadi kendala adalah tidak ada lokasi yang memadai. Tempat yang kami usulkan, setelah studi lagi, ternyata dinyatakan tidak layak, karena sampah organik bagaimana pun menimbulkan bau dari pembusukan, dan itu terlalu dekat dengan pemukiman,” kata Wanto.

SIBAT dan masyarakat

Sebagai warga asli Sewu, Budi menilai banjir Bengawan Solo sekarang lebih sering bila dibandingkan dengan sewaktu dia masih kecil dahulu. Menurut Budi, hal itu terjadi karena daerah resapan air semakin berkurang dan pendangkalan sungai terus terjadi. “Orang sekarang juga suka ngecor selokan, jadi air tidak meresap. Selokan sekarang ‘kan dibuat pakai cetakan beton, kanan, kiri, sama bawahnya enggak ada lubang­nya. Airnya cuma bisa mengalir. Ini membuat beban sungai semakin berat.”

Pemerintah telah berusaha merelokasi warga bantaran sebagai usaha normalisasi aliran sungai dan fungsi lahan bantaran. Langkah ini tidak selalu berhasil. Kalau pun berhasil, sering muncul masalah baru, yaitu lahan bantaran yang kosong malah justru dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga yang tidak bertanggung jawab. Di sisi lain, banyak warga yang menolak relokasi dan bersikeras tetap tinggal di bantaran dengan berbagai alasan, walaupun risikonya akses keluar masuk tertutup tanggul yang kemudian dibangun.

Sering dilanda banjir, warga bantaran sesungguhnya sudah relatif siap menghadapinya. “Di sini kalau banjir orang malah ketawa-ketawa,” ungkap Budi. “Cuma memang mereka kurang terkoordinir. Dulu sebelum ada SIBAT, warga hanya ngungsi terus sudah, karena tidak tahu jalur koordinasi dengan PMI, BPBD, atau mana. Jadi cuma nunggu datangnya bantuan. Kalaupun datang, distribusinya sering tidak merata, ada yang kebagian, ada yang tidak.”

SIBAT giat melakukan sosialisasi ke masyarakat, sehingga warga menjadi lebih sadar terhadap persoalan lingkungan dan kesehatan. Kiprah SIBAT di ketiga kelurahan dampingan program dirasa bermanfaat dan diapresiasi oleh masyarakat, sehingga warga kelurahan lain meminta PMI membentuk SIBAT di kampung mereka. “Di Bengawan Solo, SIBAT-nya sudah nyambung dari hulu sampai hilir. Setiap kabupaten yang dilalui sungai sudah punya SIBAT. Mereka saling berkomunikasi, menginformasikan kalau ada apa-apa. Mereka tergabung di dalam Forum SIBAT Bengawan Solo, ketuanya Mas Budi juga,” kata Wanto.

Kehadiran SIBAT yang didukung program MTB di tengah masyarakat sempat pula menimbulkan kecemburuan. Dana Zurich untuk program MTB, dengan nominal mencapai Rp 500 juta perkelurahan, terbilang cukup besar. Ada beberapa warga yang mengira anggota SIBAT digaji dan akan meraup untung besar dari keberlangsungan program ini. Padahal, basis keterlibatan SIBAT adalah kesukarelaan. “Saya coba jelaskan ke mereka, bahwa kami ini enggak dibayar. Makanya kalau ada apa-apa, semuanya saya laporkan kepada warga lewat media sosial, lewat grup Facebook. Jadi semuanya transparan,” ujar Budi.

Budi sendiri memang merasa lebih terpanggil untuk terus berkegiatan di bidang sosial. “Saya ingin total terjun ke situ, ke bidang kemanusiaan, bencana, dan sungai. Di rumah saya ada usaha sablon, ini sedang cari orang untuk menangani kerjaan, supaya saya bisa fokus di sosial. Sekarang keser-keser, kalau saya di sosial kerjaan di rumah jadi kacau.” Selama terjun ke dunia sosial, Budi tidak pernah mengkhawatirkan soal perekonomiannya. “Kalau dari yang saya praktikkan, ketika kita membantu sesama, rezeki kita malah semakin lancar,” kata Budi.

Yang masih menjadi kendala adalah kepercayaan beberapa kalangan membuang barang ke sungai. Banyak warga membuang popok bayi dan pembalut wanita ke sungai. Jika dibuang ke tempat sampah dan nantinya dibakar, mereka takut kulit mereka atau bayi mereka nanti gatal-gatal dan mlonyoh seolah ikut terbakar. Ada pula warga yang membuang barang milik orang yang sudah meninggal ke sungai, agar jangan sampai dipakai orang lain. Kepercayaan-kepercayaan kuno semacam ini yang coba Budi bongkar lewat media sosial.

“Yang saya geli, ada warga sini, anggota SIBAT juga, kerjaannya membersihkan sungai. Tapi kemarin sewaktu bapaknya meninggal, dia datang ke sini minta izin sama saya untuk membuang kasur dan pakaian bapaknya ke sungai. Padahal kerjaannya membersihkan sungai,” tutur juara pertama Duta SIBAT Nasional Putra itu, sambil tertawa.

¹ http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89070/potongan/S1-2015-299456-introduction.pdf

² http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89070/potongan/S1-2015-299456-conclusion.pdf

³ https://bisnis.tempo.co/read/790560/selamatkan-air-tanah-pemkot-solo-tutup-53-tps-sampah

***************

Seri tulisan ini merupakan hasil liputan saya untuk program Masyarakat Tangguh Banjir, yang dilaksanakan PMI bekerja sama dengan IFRC dan Zurich. Saya mengunjungi tujuh daerah dampingan program yang terletak di Jakarta (Kota Jakarta Selatan), Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Bandung), Jawa Tengah (Kabupaten Wonogiri dan Kota Surakarta), dan Jawa Timur (Kabupaten Bojonegoro) pada Januari 2018. Saya menuliskan laporan saya dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris selama sebulan berikutnya. Hasil liputan ini telah diterbitkan sebagai buku pada Maret 2018. Versi PDF buku tersebut dapat diunduh melalui tautan https://www.rcrc-resilience-southeastasia.org/wp-content/uploads/2019/01/Zurich-Program-CFR-di-Indonesia-Bahasa-Indonesia-small-2P.pdf.

--

--