Publik, seni, dan Biennale Jogja
Esai untuk buku “10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi” (Yogyakarta: Biennale Jogja, 2022)
Sewaktu pengunjung pameran seni rupa mulai suka berfoto di depan karya kira-kira sepuluh tahun yang lalu (seingat saya, ini teramati secara menonjol awalnya di Artjog, lalu menjalar ke pameran lain, termasuk Biennale Jogja), perilaku itu dipandang mengganggu. Konon, karya seni punya aura tertentu, sehingga perlu dinikmati di dalam suasana tertentu. Suasana itu, juga orang yang sedang menikmatinya, terganggu oleh pengunjung yang berfoto. Pengunjung yang berfoto dianggap tidak mengapresiasi karya, lantaran mereka melihat karya sekadar sebagai latar guna menampilkan diri yang, ironisnya, tampak seakan-akan sedang mengapresiasi karya itu.
Belakangan, anggapan ini dipertanyakan kebenarannya. Para pengunjung yang berfoto di depan karya seni itu tentu tidak semata-mata berfoto. Pertama, mereka tahu tentang adanya pameran. Kedua, mereka mengunjungi pameran itu untuk berfoto di depan karya seni. Ketiga, mereka membaca nama seniman, judul karya, dan penjelasan karya, guna melengkapi keterangan saat mengunggah foto nantinya. Ketiga hal ini menunjukkan adanya usaha. Keempat, mereka memilih ingin berfoto di depan karya seni yang mana. Kelima, mereka menentukan hendak berfoto seperti apa, agar karya seni tampak di dalam foto. Kedua hal ini memperlihatkan adanya kuasa.
Usaha dan kuasa tersebut memang tidak serta-merta menunjukkan tingkat pemahaman atau apresiasi pengunjung yang berfoto terhadap karya seni. Kendati demikian, setidaknya, ini menampakkan, bahwa mereka bukan penonton yang pasif atau sembarangan. Bagaimanapun, mereka membaca dan memilih. Jangan lupa pula, bahwa dengan caranya sendiri, mereka telah menakar pameran apa yang keren untuk didatangi, serta siapa seniman maupun mana karya yang keren untuk difoto. Laku berfoto itu juga memperlihatkan keinginan dan upaya mereka untuk melibatkan diri ke dalam geliat kesenian, yang terwakili lewat karya dan pameran tersebut.
Beberapa tahun terakhir ini, publik Yogyakarta sudah tidak lagi dibuat heran dengan perilaku pengunjung yang berfoto di depan karya seni di dalam pameran. Berkunjung ke pameran untuk berfoto di depan karya seni kini telah diterima sebagai kewajaran. Malahan, perilaku tersebut turut mendorong seniman untuk menciptakan karya seni yang menarik (keren) secara visual, agar pengunjung merasa terpanggil, tidak hanya untuk menonton, namun juga untuk mengabadikan diri mereka di depannya. Laku berfoto ini seolah-olah telah menjadi pelengkap karya seni, atau sekurang-kurangnya dipandang sebagai bagian dari ritual (perayaan) menikmati karya seni.
Pada gilirannya, foto-foto tersebut memberikan kehidupan lanjutan di dunia maya kepada karya seni dan, sebagai perpanjangannya, kepada seniman yang menciptakannya, di samping juga kepada peristiwa pameran yang telah memungkinkan terjadinya pertemuan penonton dengan karya seni itu pada awalnya. Hal ini tidak lepas dari bagaimana foto-foto itu kemudian dipakai oleh pembuatnya, yaitu menambah perbendaharaan akun media sosial mereka, guna menambang penyuka, penanggap, dan penguntit—yang sepuluh tahun belakangan ini kian diterima sebagai nilai tukar penanda pengakuan terhadap validitas dan relevansi kita di dunia (maya) masa kini.
Karya seni dan pameran yang menjadi latar pengambilan foto—juga video durasi pendek, yang kini makin digandrungi publik—turut berpengaruh dan terpengaruh di dalam ekosistem media (sosial). Setiap kali pengguna melihat, menyukai, menanggapi, menandai, dan membagikan foto itu, mereka sesungguhnya juga sedang membincangkan apa yang tampak di dalam foto, secara langsung maupun tidak langsung. Lain dari pameran (yang hanya dapat dinikmati dengan dikunjungi) dan karya seni (yang keterjangkauannya akan berkurang seusai pameran), foto di dunia maya cenderung mudah dijangkau dan diedarkan—kendati masa edarnya tidak selalu kekal.
***
Yang kemudian perlu dilacak yaitu bagaimana percakapan penonton pameran berlangsung dan berlanjut sesudah mereka melihat dan berfoto dengan karya seni—baik yang terjadi di ruang nyata maupun juga di ruang maya lewat unggahan mereka. Hal ini menjadi keingintahuan bagi penyelenggara pameran berbasis wacana semacam Biennale Jogja—apakah isu-isu yang mereka coba angkat melalui tema dan mereka ingin ejawantahkan ke dalam pameran dan sejumlah program publik, khususnya dengan pelantar Biennale Khatulistiwa sejak 2011, tersampaikan kepada dan terbicarakan di kalangan publik, termasuk para pengunjung yang berfoto tadi.
Biennale Jogja telah menyelesaikan perjalanan mengitari garis khayali khatulistiwa, di antara garis balik utara dan garis balik selatan, yang dimulai dari India (2011), kawasan Arab (2013), Nigeria (2015), Brasil (2017), kawasan Asia Tenggara (2019), dan diakhiri di kawasan Oseania (2021). Di dalam setiap kali penyelenggaraan pameran dan sejumlah program penyerta yang mendampingi pameran utama itu, Biennale Jogja berupaya mengangkat isu-isu besar yang dirasakan sebagai kegelisahan bersama dengan negara dan kawasan mitra tersebut. Ini sejalan dengan kecondongan yang terbaca di dalam sejarah pertumbuhan dan pergeseran pergelaran biennale (seni) dunia.
Para pengamat, peneliti, dan pemikir melihat penyelenggaraan sejumlah biennale di berbagai belahan dunia cenderung mengalami beberapa pergeseran: dari yang tadinya melanggengkan tatapan kolonial berbalik menjadi membicarakan dekolonisasi, dari semangat globalisme yang cenderung memakai kacamata Barat berubah menjadi regionalisme dengan menjalin kemitraan yang bertolak dari kemiripan pengalaman dan lintasan sejarah, serta dari peninjauan dan pengumpulan bergeser menjadi pewacanaan dan kontra wacana — baik di dalam seni (rupa) secara khusus maupun juga kenyataan sehari-hari (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) secara umum.
Bisa dibayangkan, tentu agak sukar membicarakan isu-isu semacam ini secara begitu saja dengan khalayak luas, kendati sesungguhnya kita semua berada di dalam pusarannya; turut memengaruhi dan dipengaruhi oleh arusnya. Wacana telanjur dianggap sebagai isu elitis, yang dapat dipahami dan dibicarakan hanya oleh mereka yang memang punya perhatian khusus untuk terjun dan menyelami kedalamannya. Sementara itu, khalayak lebih lumrah merasa berada di luarnya, sebab kami lebih dipusingkan dengan bagaimana menyeimbangkan sampan kami yang terbawa arus. Maka tidak mengherankan, jika publik kerap memandang seni (rupa) sebagai tontonan belaka.
Dengan melihat dirinya sebagai penonton (spektator), publik pun memisahkan diri dan menarik jarak dari tontonan (spektakel). Dengan segenap daya dan upaya yang dilakukan lembaga kesenian, termasuk Biennale Jogja, guna membuka percakapan dengan publik, akan selalu ada ruang yang tidak dimasuki, lantaran akan selalu ada bagian dari publik yang merasa, bahwa kesenian itu bukan wilayah kami sebab kami tidak mengerti seni; bahwa kesenian itu dunia seniman, bukan untuk kami. Tantangan untuk memecah penghalang ini sepertinya masih belum dapat diatasi. Salah satu soalnya, saya kira, terdapat pada cara kita sendiri memakai kata ‘publik’.
‘Publik’ berarti masyarakat umum, dan, dengan demikian, berbeda dari orang tertentu, atau yang (ter-) khusus (-kan). Kata ‘publik’ berkonotasi menciptakan batas, namun tidak menjelaskan, di mana batas itu berada. Batasan yang seolah-olah lentur ini mengakibatkan ‘publik’ punya makna yang luas. Kita perlu konteks untuk membedakan makna ‘publik’ setiap kali memakai kata itu. Dampaknya, kita tidak dapat membayangkan strategi tunggal yang mampu menjalin percakapan dengan segenap publik sekaligus. Di sisi lain, merangkul segenap publik seutuhnya, di dalam ranah apa pun, sesungguhnya merupakan mimpi siang bolong (untuk tidak mengatakan utopia).
***
Seni punya kemiripan dengan politik di dalam hubungannya dengan publik, yaitu bahwa publik merasa berada di luarnya dan melihatnya semata-mata sebagai perayaan dan tontonan. Di dalam politik, ada istilah yang telah dikenal sejak masa Romawi Kuno, yaitu “roti dan sirkus”. Dengan dihibur menggunakan makanan dan tontonan, khalayak menjadi pasif, karena merasa telah terpuaskan, dengan segera dan sementara, dan menjadi enggan melibatkan diri ke dalam soal lain yang lebih besar. Politik menjadi tontonan; khalayak menjadi pasrah kepada penguasa. Demikian pulalah, seni, apalagi yang mengangkat wacana, dilihat sebagai tontonan saja bagi publik.
Enam puluh tahun lalu, Habermas memperkenalkan gagasan public sphere, yang berarti ruang sosial yang memungkinkan pertemuan publik secara setara guna menyampaikan pendapat dan membincangkan perkara umum—berbeda dari public space, yang berupa ruang fisik. Walakin, public sphere sejatinya tidak pernah ada di dalam kehidupan nyata. Kapitalisme membuat orang menjadi konsumeristis dan apolitis. Ketimpangan sebaran kemakmuran membatasi akses ke public sphere. Media (sosial) tidak menyajikan informasi dan berperan sebagai public sphere, tetapi menjadi alat untuk berpolitik dan mencari uang. Publik bukan lagi subjek, melainkan telah menjadi objek.
Kendati tidak sama persis, keadaan ini tidak pula terlalu asing bagi gelanggang seni (rupa). Publik melihat dirinya bukan bagian dari panggung seni yang ingar bingar, selain karena menganggap wacana dan seni sebagai isu elitis (hanya dapat dimengerti oleh mereka yang terpelajar atau yang telah mengikuti perkembangannya), juga lantaran melihat perbedaan lapis ekonomi dan sosial yang kasatmata (hanya dapat dinikmati oleh mereka yang punya waktu senggang dan anggaran luang). Medan seni, yang diidealkan sebagai semacam public sphere, belum berhasil membuka diri bagi semua kalangan secara setara. Bagi publik secara luas, peristiwa seni tidak ubahnya perayaan.
Seni (rupa) sesungguhnya sudah makin membuka diri dengan terus-menerus melakukan pembongkaran mitos-mitos yang sebelumnya dipercaya. Misalnya, pandangan tentang kesakralan suatu karya, yang membatasi tafsir sehingga karya seolah-olah hanya dapat dinikmati atau dipahami dengan satu cara, kini sudah dianggap usang. Yang jadi soal, publik masih belum diteguhkan dengan pengertian atau pengalaman untuk memampukan mereka melampaui mitos kebenaran tunggal yang lama melekat tersebut. Keraguan untuk membangun tafsir sendiri lantaran takut keliru inilah yang membuat publik merasa, bahwa seni bukanlah dunia kami.
Untuk meruntuhkan mitos semacam tafsir tunggal itu, lembaga seni perlu mengambil peran di dalam menguatkan dan melibatkan publik secara lebih aktif, terbuka, dan setara. Gelombang pengunjung pameran seni rupa yang suka berfoto di depan karya dapat dilihat sebagai peluang untuk menggiatkan upaya tersebut. Bagaimanapun, mereka telah memilih untuk melibatkan diri ke dalam perayaan seni. Pada umumnya, mereka merupakan generasi muda, yang cenderung berpikiran lebih terbuka, khususnya terhadap seni. Mereka juga lebih leluasa menyusuri dunia maya dan media sosial, yang memungkinkan keterkaitan dan keterikatan nyaris tanpa batasan.
Di lingkaran seni rupa Yogyakarta, kita tidak punya lembaga publik yang kuat seperti museum untuk dapat mengatur strategi dan langkah lebih jauh guna menggiatkan pelibatan publik. Sebagai lembaga publik, Biennale Jogjalah yang menjadi tumpuan harapan kita di dalam meneguhkan edukasi seni kepada publik. Kurikulum seni sekolah yang berlangsung hingga kini jauh panggang dari api, lantaran lebih menitikberatkan segi teknis dan justru luput membina kesadaran yang lebih luas soal pentingnya seni (dan pendidikan seni). Seni perlu ikut diintegrasikan ke dalam fokus kurikulum, dari STEM menjadi STEAM (science, technology, engineering, arts, mathematics).
***
Seni memang memiliki nilai sebagai hiburan, jadi tidak terlalu keliru dilihat sebagai tontonan. Yang menjadi persoalan yaitu ketika publik melihat seni semata-mata sebagai tontonan—dan akan makin runyam apabila keadaan ini terus dibiarkan saja. Saya tidak sedang mengatakan agar semua orang menjadi seniman, namun mendorong keterlibatan publik secara lebih aktif dan setara di dalam gelanggang seni yang lebih terbuka. Di satu sisi, keterlibatan publik ini akan memungkinkan wacana yang diangkat lewat karya dan pameran dapat terbicarakan. Di sisi lain, keterlibatan publik secara setara dan terbuka merupakan perwujudan dari wacana itu sendiri.
Agar tidak terus-terusan merasa dirinya berada di luar pusaran, publik perlu dapat melibatkan diri di dalam seni (rupa). Banyak pameran sekarang sudah memasang takarir karya, bahkan beberapa pameran besar berusaha menyediakan pemandu, guna memudahkan pengunjung menangkap maksud karya. Akan tetapi, penyampaian semacam ini masih bersifat searah dan belum cukup menempatkan penonton sebagai subjek. Pengunjung juga perlu punya kemerdekaan membangun makna berdasarkan pengertiannya sendiri. Untuk dapat membaca karya dan mengerti konteks yang menjadi latar hadirnya karya itu, publik perlu memiliki keberaksaraan visual (visual literacy).
Beraksara secara visual berarti kita mampu menggunakan serangkai pengetahuan guna memaknai sebuah gambar, termasuk karya seni. Makna tidak berada pada gambar, tetapi terbentuk di dalam kesadaran orang yang memandangnya. Keberaksaraan visual, dengan demikian, merupakan suatu wujud kemampuan berpikir kritis. Bekal bagi publik untuk berpikir kritis terutama diperoleh dari pendidikan—bukan hanya materi yang diberikan, tetapi juga cara pendidikan itu dilangsungkan. Pendidikan bukan membebani orang dengan hafalan, melainkan memerdekakan; bukan semata-mata menyediakan jawaban, melainkan merangsang orang untuk bisa berpikir dan mau berusaha.
Sejumlah kajian menunjukkan, seni berperan di dalam membangun kreativitas, kepekaan, dan keingintahuan, khususnya di dalam pendidikan usia dini. Pada gilirannya, seni dapat menjadi jembatan agar orang lebih terlibat dengan dunia di sekitarnya. Untuk itulah, pendidikan seni (baik secara umum, maupun seni rupa secara khusus) perlu digarap secara strategis sebagai salah satu fokus jangka panjang, terjalin dengan bidang keilmuan dan keterampilan lain. Membangun keterlibatan publik ke dalam seni memang mustahil dilihat sebagai upaya tunggal, sebab tidak lepas dari usaha melibatkan seni dan publik ke dalam segi-segi kehidupan yang lain pula.
Teknologi, khususnya bidang informasi dan komunikasi, yang kian canggih dan makin luas digunakan di dalam berbagai sendi kehidupan, membawa warna dan tantangan baru ke dalam pola interaksi masyarakat. Internet merupakan ruang maya yang terbuka bagi siapa saja dan memungkinkan karya seni (rupa) dapat dijangkau secara lebih luas. Kendati pengalaman yang ditawarkan hanyalah visual (lewat layar berpendar) dan audio (lewat pengeras suara), namun internet memudahkan publik turut menikmati karya dan memasuki gelanggang seni. Ini dapat diamati dan dirasakan khususnya di tengah pandemi COVID-19, yang melanda sejak 2020.
Seiring tingkat bahaya virus corona kian “menurun” (ini memang bukan pilihan kata yang tepat), masyarakat berangsur-angsur kembali meramaikan tempat-tempat umum dan acara-acara seni. Ini menunjukkan, bahwa menonton seni lewat gawai tidak dapat menyamai atau menggantikan kehadiran dan pertemuan secara langsung. Pengunjung pameran seni (rupa) berfoto di depan karya bukan semata-mata untuk mendapatkan foto, melainkan ingin menunjukkan kehadirannya dengan membagikan foto itu lewat media (sosial). Yang melihat foto itu lantas ikut mengunjungi pameran dan berfoto di depan karya, seakan-akan untuk berkata, “Kami juga bagian dari seni.”
Yogyakarta, September 2022
— — — — — — — — — — —
Esai ini merupakan kontribusi saya untuk buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi, yang diterbitkan oleh Biennale Jogja, Desember 2022. Buku diluncurkan pada Jumat, 6 Januari 2023 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Buku ini dapat diperoleh dengan menghubungi Biennale Jogja.
.