Tentang berkelompok dan tentang gantung kamera

Refleksi 2021

Beberapa pertanyaan kecut yang saya terima pada 2021 datang dari seorang kawan. Sungguhpun tidak terlalu mengenakkan, pertanyaan-pertanyaan itu sebetulnya telah lama juga mengambul di dalam benak saya. Kendati demikian, mendengarnya dilontarkan kepada saya oleh orang lain memang terasa berbeda, ketimbang mempertanyakannya kepada diri sendiri.

***

Pada suatu kesempatan, di tengah obrolan kami, yang biasanya tidak jauh-jauh dari fotografi, tiba-tiba kawan saya itu bertanya, mengapa saya tidak ikut kelompok ini atau itu. Agak terkejut ditanya begitu, saya terdiam sebentar, sedikit berpikir sambil mencoba menerka arah percakapan. Saya menyadari, ada cita-cita yang mirip di antara beberapa kegiatan yang saya prakarsai beberapa waktu terakhir dengan kegiatan yang dilakukan kelompok-kelompok yang dia tanyakan tersebut. Jadi, saya pikir pertanyaan itu bukan untuk mencari pasal belaka. Namun begitu, saya rasa pertanyaan di luar dugaan itu salah alamat. Dari sudut pandang saya, sederhana saja, saya tidak ikut kelompok-kelompok tersebut sebab memang tidak diajak. Mengapa saya tidak diajak, di sisi lain, bukanlah pertanyaan yang dapat saya jawab.

Pertanyaan itu menggugah kegundahan pribadi saya soal kesepian dan kesendirian, yang sebisa mungkin telah lama saya coba pendam dalam-dalam. Sesungguhnya, justru kegiatan-kegiatan yang saya rintis menetas dari kesepian dan kesendirian itu. Karena saya tidak punya kelompok, maka saya mencoba melakukan apa yang dapat saya lakukan sendiri. Saya membuat kelompok belajar [1] [2] untuk mencari teman di dalam membicarakan fotografi. Saya menulis untuk membagikan kegelisahan saya soal fotografi. Upaya-upaya itu sejatinya merupakan ajakan untuk berbincang. Saya berusaha membuka ruang untuk disinggahi orang, supaya saya tidak terus-terusan merasa kesepian dan sendirian.

Kendati kami punya harapan yang bisa jadi serupa, saya memilih melalui jalur yang berbeda dari kelompok-kelompok yang ditanyakan tadi. Saya membentuk kelompok belajar, bukan mengadakan kelas atau lokakarya, sebab saya ingin turut serta di dalamnya secara setara, bukan sebagai guru. Saya tidak menulis untuk memberi tahu, tetapi malah sebagai usaha untuk mengerti. Saya insaf, masih banyak perkara yang tidak saya pahami. Oleh karena itulah, saya cenderung ingin belajar bersama dengan posisi duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Di dalam tulisan dan kelompok belajar yang saya buat, saya membagikan kegelisahan saya sebagai pertanyaan, apakah kegelisahan itu dirasakan pula oleh orang lain dan bagaimanakah saya atau kita kemudian mesti menyikapi kegelisahan itu.

***

Pada suatu kesempatan yang lain, kawan saya itu pernah pula bertanya, apakah saya sungguh sudah gantung kamera. Lagi-lagi, saya terdiam sebentar dan berpikir sedikit sebelum menjawabnya. Belakangan, memang saya lebih banyak menulis tentang fotografi dan tidak lagi memfoto secara serius. Jadi, saya kira ini juga bukan pertanyaan yang sembarangan saja. Sebetulnya, ada alasan teknis di balik itu. Saya telah jarang mendapat penugasan memfoto sejak sebelum pandemi. Untuk bertahan hidup, saya akhirnya menjual kamera — nyaris ditipu orang pula di dalam prosesnya. Di samping itu, pada akhir Februari 2020, persis sebelum pandemi melanda Indonesia, komputer saya tiba-tiba padam dan tidak bisa dinyalakan lagi setelah mengeluarkan bau hangus — saya ketahui kemudian, ada beberapa cip di papan induknya yang korsleting. Saya baru dapat mengongkosi perbaikan komputer setelah berhasil menjual kamera. Saya baru bisa memakainya lagi untuk menulis dan menjalankan kelompok belajar secara virtual menjelang akhir 2020. Akan tetapi, apakah saya sungguh sudah gantung kamera, saya sendiri masih belum menemukan jawaban yang memuaskan.

Bahwa saya belakangan tidak lagi memfoto, tentu tidak lepas dari keadaan saya akhir-akhir ini, yang memang sedang tidak memungkinkan untuk itu. Biar begitu, saya sejujurnya sudah lama menimbang untuk tidak lagi memfoto dan lebih memusatkan perhatian pada sisi fotografi di luar memfoto. Di luar dugaan, niat itu kini terwujud, dengan dipercepat oleh keadaan serbasukar yang tengah saya alami. Saya pernah meminta pendapat beberapa pihak soal kebimbangan saya ini. Secara umum, mereka menyayangkan jika saya berhenti memfoto saat karier saya belum mapan dan menyarankan agar saya menjalani keduanya sebagai solusi menang-menang. Jalan tengah itu bukannya belum pernah saya renungkan, tetapi pengalaman menunjukkan, bahwa sewaktu saya melakukan salah satu, perhatian saya sering terpecah memikirkan lainnya. Sulit sekali menjaga keseimbangan.

Saya jadi berpikir untuk berhenti memfoto sebab saya merasa ada ketidakseimbangan antara fotografi sebagai praktik dengan bagaimana praktik itu dibincangkan secara kritis. Ada keingintahuan yang kemudian mendorong saya untuk menjelajah sisi lain fotografi itu. Sambil terus belajar dari beraneka sumber yang dapat saya jangkau dengan berbagai cara, pelan-pelan saya mencurahkan pula isi kepala saya dengan menulis, sekalian mencoba membicarakannya dengan orang lain. Dengan tidak lagi memfoto, bukan berarti saya menyerah, melainkan saya sedang mengalihkan perhatian saya untuk meluaskan cakrawala pandangan. Saya toh tidak berhenti memfoto sepenuhnya. Hingga kini, saya masih sering mengambil dan membuat gambar menggunakan kamera ponsel pintar saya. Jadi, apakah saya gantung kamera, di dalam hati, sambil menyilangkan jari, saya jawab, tidak sekarang. Saya rasa, saya terlalu menyukai fotografi untuk berhenti.

***

Saya cuma punya dua tangan. Yang dapat saya kerjakan pada suatu waktu hanyalah apa yang dapat saya lakukan dengan kedua tangan saya itu. Pekerjaan lain mesti ditunda hingga saya menyelesaikan pekerjaan yang sedang saya tangani. Saya tidak punya kelompok untuk dapat saling berbagi beban, saling bertanya dan menjawab, saling mengeluh dan mendengarkan, juga saling meminta dan memberikan bantuan. Saya lebih sering berkutat dengan mimpi-mimpi dan ketakutan-ketakutan saya sendiri. Saya memang bukan orang yang menyukai keramaian atau kerumunan. Akan tetapi, meski lebih suka menyendiri, bukan lantas berarti saya bisa sepenuhnya bergantung pada diri saya sendiri.

Setiap orang memerlukan dukungan kelompok dan kelompok dukungan. Orang-orang yang berkelompok cenderung lebih mudah berhasil di dalam melaksanakan kegiatan, asalkan ada komunikasi dan kerja sama yang baik di dalamnya. Sementara itu, orang yang tidak berkelompok toh tidak dapat bekerja betul-betul sendiri, kecuali untuk kepentingannya sendiri. Saya, umpamanya. Walaupun tidak berkelompok, saya melihat diri saya sendiri berada di tengah kelompok yang lebih besar dan lebih longgar (komunitas). Dilihat dengan kacamata lain, dapat pula dikatakan, bahwa dengan menulis dan membentuk kelompok belajar, saya berupaya untuk mencari atau membuat kelompok yang lebih kecil dan lebih terarah di dalam komunitas ini, supaya dapat sama-sama membicarakan fotografi.

Membuat kelompok belajar bersama menjadi salah satu pilihan yang masuk akal bagi saya untuk mengumpulkan tangan tambahan dan berbagi peran. Peran yang setara merupakan kunci, sehingga keikutsertaan bersifat dialogis dan partisipatoris. Di dalam kelompok ini, setiap peserta merupakan guru bagi peserta lainnya, sekaligus murid dari peserta lainnya. Bagaikan dua sisi mata uang, pendekatan ini membawa peluang dan tantangan. Keragaman sudut pandang, pengetahuan, dan pengalaman para peserta dapat memperkaya percakapan kelompok, tetapi juga menandakan bahwa kami tidak berangkat dari titik yang sama. Namun demikian, tantangan ini dapat pula dilihat sebagai peluang baru. Peserta yang lebih menguasai topik tertentu didorong untuk berbagi dengan peserta lain, sambil mempelajari topik lain yang dikuasai peserta lainnya. Pada gilirannya, peluang ini pun bisa menjadi tantangan baru, sebab keberlangsungan kelompok belajar bergantung pada peran para pesertanya untuk saling berbagi secara aktif.

***

Memasuki tahun baru ini, saya pikir saya akan meneruskan — dan mencoba mengembangkan — apa yang telah saya mulai lakukan dan jalani selama setahun terakhir ini. Saya belum punya rencana yang karuan dan memang bukan jenis orang yang gemar membuat resolusi pada pergantian tahun. Akan tetapi, saya sering merenungkan peristiwa-peristiwa yang lewat dan mencoba berkaca darinya guna mengangan-angan langkah ke depan (tulisan semacam ini merupakan salah satu cara saya untuk mengendapkan pengalaman). Saya akan melanjutkan rangkaian tulisan saya dengan mencoba menjajaki topik baru, setelah selama setahun kemarin saya menggenapkan satu putaran. Saya juga ingin menggiatkan kembali kelompok belajar [1] [2] yang saya istirahatkan pada pertengahan tahun lalu, setelah berlangsung selama tujuh bulan (keinginan ini masih saya timbang-timbang, sebab saya belum menemukan kerangka ataupun pendekatan yang saya rasa pas).

Di samping itu, ada beberapa hal lain yang juga masih bergelayut di dalam benak saya — entah kapan dan bagaimana bisa saya wujudkan. Semoga saja saya belum lupa dan saya dapat coba carikan jalan pelan-pelan. Saya katakan tadi, saya cuma punya dua tangan, serta hanya bisa berkutat dengan mimpi-mimpi dan ketakutan-ketakutan saya sendiri. Dengan catatan itu, saya ingin menggarisbawahi lagi, bahwa komunitas itu penting. Kepada kawan yang telah mengajukan pertanyaan kecut di atas sehingga saya terpicu untuk menuliskan refleksi ini, saya ucapkan terima kasih. Saya juga bersyukur kepada teman, rekan, dan handai tolan sekalian, yang telah memberi saya kepercayaan dan kesempatan untuk melakukan apa yang bisa saya lakukan sesuai dengan bejana dan kemampuan saya. Saya harap, saya tidak mengecewakan kalian. Semoga 2022 menjadi tahun yang berbuah bagi kita semua.

Yogyakarta, Januari 2022

--

--